Jurnal

Politik Pembangunan UMKM

21 Agustus 2023
Administrator
Dibaca 56 Kali
Politik Pembangunan UMKM

Dalam upaya pengembangan UMKM, tahap penyadaran dan pembentukan perilaku mandiri suatu keniscayaan yang tak dapat dikompromikan. 

Transformasi kemampuan organisasi/usaha sama vitalnya dengan penciptaan karakter berdaulat.

Presiden Jokowi menyampaikan pentingnya mengarusutamakan pembangunan UMKM agar pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkeadilan dapat dicapai. 

Hal itu disampaikan pada acara yang digelar Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kepala BKPM juga menunjukkan kerangka kebijakan baru investasi di Indonesia: usaha besar mesti berkolaborasi dengan pelaku UMKM. 

”Politik investasi” dengan menyembulkan kerja sama di antara dua level usaha itu ikhtiar mulia dan punya daya ungkit besar untuk mengubah tatanan ekonomi nasional yang lebih merata dan manusiawi.

Menteri PPN/Kepala Bappenas akhir 2020 juga menyatakan, jilid kedua pemerintahan Jokowi akan lebih menitikberatkan pada pengembangan UMKM. 

Kementerian Koperasi dan UKM telah pula membenahi struktur organisasi (di kementerian) untuk menguatkan daya desak dan eksekusi pembangunan UMKM. Layar telah dikembangkan.

BACA JUGA:

Balitbang Medan Bahas Penelitian dan Pengembangan UMKM

Pengarusutamaan UMKM

Pengarusutamaan pembangunan UMKM perlu komitmen dan langkah raksasa, yang sebagian mesti terpantul dari tiga perkara pokok: kebijakan, pengorganisasian, dan pembiayaan. 

Kebijakan pembangunan UMKM secara teknis bisa dikoordinasi oleh satu kementerian khusus, seperti Kemenkop dan UKM (yang harus diperkuat kelembagaannya). 

Di level kebijakan dibutuhkan gerak bersama yang fokus pada penguatan UMKM, baik kebijakan, fiskal, moneter, perdagangan, industri, maupun pertanian/desa.

Politik fiskal harus menampakkan insentif kebijakan pajak, cukai, anggaran, dan lainnya menuju level usaha ini. Beberapa langkah dimulai, seperti penurunan pajak final UMKM di 2018. 

Kebijakan perdagangan mengatur model kerja sama dan persaingan, khususnya antara usaha kecil/menengah dan besar. Jangan sampai saling memangsa. 

Kebijakan industri, pertanian/desa, dan lain-lain juga berjalan lurus dengan arus utama ini. 

Pengorganisasian UMKM merupakan tantangan amat berat. Perlu sumber daya sangat besar: birokrasi, dunia usaha, kampus, dan LSM. 

UMKM selama ini bekerja dalam struktur terpecah-pecah (fragmented), kurang terkonsolidasi (horizontal ataupun vertikal), dan jejaring informasi relatif lemah.

Selama ini peran birokrasi sangat besar untuk memfasilitasi, tetapi bisa dipahami kemampuannya amat terbatas untuk menyangga beban itu. 

Fasilitasi paling optimal yang sanggup dikerjakan birokrasi adalah menyusun aturan dan strategi kerja sama yang ideal. Jika ini dapat dijalankan dengan mulus, sudah berkah luar biasa.

Peran lain mesti dijalankan oleh pemangku kepentingan yang punya kapasitas lebih bagus, seperti diungkap di atas. Mereka bisa bekerja sama dengan birokrasi, di level pusat ataupun daerah.

Problem klasik yang dihadapi UMKM adalah isu terkait pembiayaan dan legalitas. Mayoritas UMKM tak memiliki legalitas usaha dan akses pembiayaan (88 persen tak memperoleh/mengajukan kredit). 

Kapasitas fiskal juga kecil untuk menyantuni kebutuhan pembiayaan, termasuk instrumen moneter yang tersedia. Komitmen dari sektor keuangan (khususnya perbankan) juga kecil.

Dari masa ke masa, kontribusi kredit perbankan ke UMKM tak lebih dari 20 persen dari total kredit. 

Di Singapura proporsi kredit bagi UMKM mencapai 30 persen, Malaysia 51 persen, Thailand 50 persen, Jepang 66 persen, dan Korsel 81 persen (Kementerian PPN/Bappenas, 2020).

Konsolidasi sumber daya fiskal dan moneter sangat dibutuhkan pada titik ini. 

Alokasi anggaran fiskal dirapatkan jadi satu pagu utuh bagi kepentingan penguatan UMKM, tak terpencar ke banyak kementerian/lembaga dalam rupa program pengembangan UMKM sehingga menjadi rumah induk kebijakan yang komprehensif. 

Perbankan, khususnya milik negara, seyogianya keluar dari zona nyaman: mengalokasikan kredit yang lebih besar kepada pelaku UMKM.

Trayek penguatan UMKM

Struktur ekonomi nasional jika dilihat dari beberapa sudut memang tak ideal, salah satunya dilihat dari proporsi usaha mikro, kecil, menengah, dan besar. 

Sebagian besar usaha di Indonesia didominasi UMKM (99 persen). 

Usaha menengah dan besar kerap dijadikan hamparan harapan untuk menyerap tenaga kerja, nilai tambah ekonomi, dan peningkatan ekspor. 

Usaha menengah dan besar dianggap punya modal, teknologi, dan keterampilan tenaga kerja yang bagus sehingga tak sulit menjadi cagak ekonomi.

Namun, melihat komposisi struktur itu, tujuan raksasa pembangunan ekonomi sulit diwujudkan. 

Sebaliknya, meski jumlah sangat besar, usaha mikro dan kecil sulit diandalkan menjadi pendukung proyek transformasi ekonomi dan promosi ekspor. 

Presiden kerap mengingatkan soal proses ”naik kelas” sebagai upaya penambahan jumlah usaha menengah dan besar agar level kesejahteraan dan daya saing ekonomi meningkat.

Negara lain yang ekonominya juga banyak dihuni usaha kecil membuat dua trayek agar eksistensi mereka makin kuat. 

Pertama, usaha mikro dan kecil terus difasilitasi agar kapasitas usaha, tenaga kerja, modal, dan teknologi meningkat. 

Setiap bisnis akan berhadapan dengan hukum besi ekonomi: efisiensi dan inovasi.

Jika perusahaan kecil tak kunjung mencapai derajat efisiensi dan mengerjakan inovasi, pasti akan mati. Efisiensi dan inovasi ditopang dua gerak sumber: sisi (biaya) produksi dan transaksi. 

Fokus biaya produksi adalah menekan bahan baku, pemanfaatan teknologi, dan kompetensi tenaga kerja.

Konsentrasi biaya transaksi adalah efisiensi penetrasi pasar, inovasi manajemen korporasi, dan adaptasi kebijakan. 

Di negara maju kedua sumber efisiensi itu dikurung fasilitasinya untuk usaha kecil sehingga kapasitas keseluruhan usahanya persis dengan usaha besar. 

Perbedaan hanya skala usaha, selebihnya (tenaga kerja, manajemen usaha, dan daya inovasi) memiliki kapabilitas serupa, seperti di Korsel dan Singapura.

Ketiga, kolaborasi intensif antara usaha kecil, menengah, dan besar sehingga antarpemain saling menyangga. 

Pelaku usaha di hulu, tengah, dan hilir ditata rapi agar tersusun level persaingan dan kerja sama yang sehat. Model ini menjamin dua hal kunci: pasar dan pengetahuan.

Setiap usaha tak perlu memikirkan pasar produk karena telah ada pelaku lain yang bakal menyerap komoditasnya, misalnya kolaborasi di industri otomotif. 

BACA JUGA:

Bank Mandiri Salurkan Kredit UMKM Rp115,97 T Dalam 2 Bulan

Kerja sama ini juga melanggengkan proses pembelajaran bersama sehingga pengetahuan akan terbagi merata.

Kolaborasi dibangun dengan tiga prinsip pokok: kesepahaman, saling menguntungkan, dan gerakan bersama. 

Model kolaborasi semacam ini yang dikerjakan di Jepang dan Taiwan secara eksesif sehingga semua pelaku ekonomi masuk dalam gerak gerbong ekonomi.

Di Indonesia 93 persen UMKM belum menjalin kemitraan (Kemenkop dan UKM, 2019).

Konsolidasi usaha

Fasilitasi penguatan UMKM di lapangan menjadi tantangan tak kalah berat. 

Selama puluhan tahun proses pendampingan, pembinaan, pemberdayaan, atau sejenisnya sudah dilakukan pemerintah, tetapi banyak pihak merasa model fasilitasi itu belum memberikan kemajuan. 

Dibutuhkan pendekatan dan inovasi lain agar keberhasilan yang diangankan bisa dicapai.

Pertama, konsolidasi UMKM merupakan keniscayaan. Jumlah usaha mikro dan kecil teramat banyak sehingga mesti dilebur lebih dulu. 

Idealnya, jumlah UMKM tak lebih dari 15 juta unit usaha sehingga 4-5 usaha disatukan menjadi lini usaha yang lebih kokoh dan sehat sesuai kesamaan jenis dan lokasi usaha.

Kluster UMKM selama ini telah berjalan, baik secara alamiah maupun fasilitasi pemerintah (pusat dan daerah), tetapi tak semuanya diiringi penggabungan usaha yang membuat pelakunya meningkat skala ekonomi dan kapasitas usaha. 

Alas ini yang mesti dilakukan terlebih dulu. Integrasi bisnis ini tak akan bisa dilakukan secara cepat, tetapi bertahap. 

Prosesnya juga menimbang aspek sosial dan budaya agar tidak menimbulkan guncangan yang tidak perlu.

Literasi usaha dan sosialisasi soal keperluan unifikasi usaha dijalankan dengan telaten sehingga para pelakunya paham mengapa ikhtiar ini wajib dilakukan. 

Kalau ini sudah berjalan, penguatan kapasitas organisasi usaha bisa disuntikkan kepada pelaku UMKM itu. 

Zaman terus berubah, wawasan bisnis juga mesti mekar seiring tuntutan perubahan, misalnya perencanaan usaha, pengelolaan informasi, adopsi teknologi, dan rekayasa inovasi.

Fasilitasi di level ini tak cukup lewat pelatihan konvensional, tetapi dibarengi pendampingan melekat yang berpotensi memberdayakan. Di sini birokrasi tak akan mampu mengerjakan sendiri. 

Perlu injeksi pelaku dan ahli yang punya kapabilitas mengerjakan fasilitasi pendampingan.

Setelah proses itu berjalan mapan, eksekusi program dan fasilitasi pembiayaan baru bisa diterapkan. 

Pada banyak kasus, fasilitasi dan akses pembiayaan yang tak didahului proses inkorporasi dan penguatan kapasitas justru menenggelamkan pelaku UMKM. 

Bantuan modal yang diberikan menjadikan mereka kian tergantung sehingga kemandirian kian jauh dari harapan.

Demikian pula fasilitas tanpa kapasitas membuat bantuan dipakai untuk aktivitas yang tak sesuai peruntukan. Kisah ini telah terjadi puluhan tahun dan masih berulang hingga kini. 

Sebaliknya, jika penghimpunan dan penguatan kapasitas telah ditegakkan terlebih dulu, fasilitas pembiayaan bakal menopang pelaku UMKM mempermudah pemanfaatannya bagi penguatan usaha. 

Urutan fasilitasi ini seyogianya disadari dan dijadikan konsensus bersama agar kemajuan yang ditargetkan bisa terpenuhi.

”Laskar semut”

Di level pelaksanaan, aransemen kelembagaan menjadi isu sentral agar pengarusutamaan ini punya tapak kaki. 

Selama ini model pembinaan dan aneka fasilitas kurang efektif bekerja di lapangan karena beberapa hal inti agak abai diupayakan.

Sekurangnya lima soal yang dosis perhatiannya belum maksimal: 

  • iklim usaha yang tak sehat/adil: persaingan usaha cenderung saling mematikan. Usaha mikro dan kecil dibiarkan bertempur secara bebas dengan usaha menengah/besar dengan kapabilitas jejaring dan modal kakap; 
  • akses informasi dan peluang pasar tak memadai. Pelaku usaha kecil hanya mengandalkan informasi dari tetangga sehingga daya jelajah produk amat terbatas; 
  • dukungan birokrasi (baik perizinan maupun prosedur ekspor-impor) lemah sehingga sebagian besar pelaku tak memiliki legalitas usaha; 
  • keterbatasan jaringan usaha dan pemasaran (digitalisasi). Sekitar 94 persen UMK tidak menggunakan komputer dan 90 persen tak memakai internet;
  • ketiadaan strategi koneksi dengan industri hilir.
  • Pemerintah punya pekerjaan rumah menuntaskan kecukupan dukungan kelembagaan (makro dan meso) sehingga pelaku UMKM bisa nyaman beroperasi. Regulasi persaingan harus ditata ulang dan ditegakkan. 

Selama 20 tahun ini terjadi pengisapan yang intensif antarpelaku usaha akibat longgarnya model persaingan (bebas) sehingga dibutuhkan regulasi yang lebih ketat pada aspek ini.

BACA JUGA:

Apa itu UMKM? dan Contohnya

Berikutnya, pemerintah telah banyak melakukan investasi kebijakan agar izin usaha bisa cepat dan murah, termasuk insentif pajak. Dukungan ini perlu terus dilanjutkan sesuai kebutuhan di lapangan. 

Pembangunan lini jaringan antar- UMKM/koperasi menjadi pendakian terjal karena ini salah satu titik lemah. Jika integrasi usaha bisa dieksekusi, persoalan jadi lebih mudah dipecahkan. 

Setelah itu baru pengaturan kolaborasi usaha besar dan UMKM/koperasi serta penguatan kelembagaan institusi keuangan. Ujungnya, pemerintah berjibaku untuk urusan terkait pemberdayaan. 

Fasilitasi utuh ada batasnya, demikian pula perkara afirmasi. Pada peta jalan penguatan UMKM, titik akhirnya adalah keberdayaan sehingga mereka bisa berselancar mandiri pada arus ekonomi. 

Ekosistem bisnis dimulai dari karakter tiap-tiap pelaku, yaitu mental jadi usahawan yang otonom. 

Selama pola pikir masih mengandalkan bantuan/fasilitas (baik dari pemerintah maupun pihak lain), ekosistem (mikro) belum terbentuk pada pelaku UMKM.

Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku berdikari menjadi keniscayaan yang tak dapat dikompromikan. 

Transformasi kemampuan organisasi/usaha dalam wujud pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan sama vitalnya dengan penciptaan karakter berdaulat ini. 

Hanya dengan proses itu, fase tepi pemberdayaan (daya dobrak inisiatif dan inovasi kemandirian usaha) bisa diperoleh dengan lapang. 

Telah tiba masanya para ”laskar semut usaha” ini berjajar mengurung dunia.

Bagikan artikel ini:
Kirim Komentar

Komentar baru terbit setelah disetujui Admin

CAPTCHA Image