Jurnal

Inovasi Digital untuk Kebangkitan Desa

22 April 2023
Administrator
Dibaca 69 Kali
Inovasi Digital untuk Kebangkitan Desa

Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa menjadi titik balik pembangungan desa-desa di Indonesia. Undang-Undang Desa memberikan pengakuan asal usul desa (rekognisi) dan penghormatan atas desa, yang menjamin eksistensi desa, melestarikan warisan budaya desa, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan warga desa, memajukan perekonomian masyarakat desa, serta memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.

Pemerintah berkomitmen mewujudkan hak-hak asal usul desa, subsidiaritas maupun hak permusyawaratn desa, diantaranya tercermin dari peningkatan dana desa hingga total mencapai Rp401 triliun pada tahun 2021. Selain itu, berbagai inovasi kebijakan serta akselarasi yang dilakukan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, semakin menguatkan inovasi yang lahir dari 74.961 desa seluruh Indonesia.

Sejak tahun 2021, Kementerian Desa, PDTT mulai meluncurkan program Desa Cerdas, sebagai bagian upaya desa-desa menyambut tantangan dan mengambil bagian revolusi digital di Indonesia. Ini, dapat mereplikasi keberhasilan Korea Selatan yang melesat maju dengan berbagai produk teknologi seperti Samsung, yang salah satunya dipicu kebijakan pembangunan desa dengan gerakan Semaul Undong.

Relevansi Desa Cerdas di Indonesia setidaknya didasari oleh; pertama, permasalahan dasar digitalisasi sebagian besar berada di desa. Oleh karenanya, menyelesaikan permasalahan dasar digitalisasi di desa berkontribusi besar terhadap kesiapan kita menyongsong era digital; kedua, desa digital adalah salah satu upaya guna mengubah imaji tentang desa sebagai “tertinggal” menjadi pusat inovasi dan kemajuan.

Pandemi Covid-19 memaksa masyarakat Indonesia untuk lebih intens mengakses perangkat digital. Ini juga yang membuka tabir ketimpangan akses teknologi ketika Indonesia berambisi menyongsong revolusi digital. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut bahwa pada tahun 2019, lebih dari 50% penduduk perkotaan telah mengakses internet. Sementara dari desa hanya 30% yang bisa mengakses internet. Di sisi lain, lebih dari 64�sa di wilayah kabupaten belum memiliki menara pemancar dan penerima sinyal atau yang lebih dikenal sebagai BTS (Base Transceiver Station). Hal tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah bersama ditengah gegap gempita era digital. Bagaimana warga desa dapat bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, jika infrastruktur pendukungnya tidak terpenuhi.


Bagikan artikel ini:
Kirim Komentar

Komentar baru terbit setelah disetujui Admin

CAPTCHA Image