Jurnal

Digitalisasi Desa, Perlukah?

31 Oktober 2022
Administrator
Dibaca 45 Kali
Digitalisasi Desa, Perlukah?

Saya adalah seorang mahasiswa teknik di salah satu universitas swasta di Indonesia. Saat ini, saya sedang berada di tingkat akhir perkuliahan dan sedang aktif di kepengurusan himpunan. Ada salah satu program kerja himpunan saya yang bergerak di bidang pengabdian masyarakat, yakni Bina Desa. Bina Desa tahun 2021 ini bertempat di Desa Cipanganten, Ciwidey, Jawa Barat. Target dari kegiatan ini adalah menyelesaikan masalah yang ada dan menjalin silaturahim dengan desa yang dituju.

Perjalanan dari kampus saya menuju Desa Cipanganten memakan waktu sekitar 2,5 jam. Desa ini tidak jauh dari campsite Ranca Upas, namun saat sudah mendekati desanya, jalan yang dilalui sangatlah tidak nyaman untuk dilewati dan sangat berbahaya saat musim hujan. Kesan pertama saya saat sampai di desa ini adalah mengkhawatirkan tetapi menenteramkan. Mengapa demikian? Karena akses menuju desa ini yang sangatlah sulit serta desa ini tidak mendapatkan akses untuk sms, telepon, apalagi internet. Namun, keterbatasan ini justru malah membuat saya tenteram dan sangat menikmati kehidupan di desa ini karena saya tidak merasakan toxic-nya dunia maya.

Desa ini dikelilingi oleh kebun teh, sehingga mayoritas mata pencaharian warga desa ini adalah petani teh. Selain mengurus kebun teh, rata-rata warga di desa ini juga bercocok tanam (selain teh), beternak, dan membuka warung. Saya sempat bertanya-tanya kepada warga sekitar perihal kehidupan sehari-hari mereka. Inti dari obrolan saya adalah "apakah ada kendala dalam menjalani kehidupan di desa ini?". Rata-rata para warga yang saya ajak bicara menjawab bahwa mereka lancar-lancar saja dalam menjalani kehidupan dan merasa cukup dengan apa yang ada di desa. Beberapa saya pancing lagi dan akhirnya menjawab apa yang kurang di desa ini hanyalah dari layanan masyarakat serta kebutuhan untuk belanja, karena apotik, toko baju, pasar, dan sebagainya tidak tersedia di desa ini.

Hasil obrolan saya dengan para warga membuat saya sedikit tertampar. Bagaimana tidak, saya yang hanya tinggal beberapa hari di desa ini sudah mengeluh karena tidak ada ini itu, sedangkan para warga bersyukur atas kehidupan mereka yang sekarang dan tidak meminta lebih. Saya juga penasaran terhadap urgensi pemakaian fasilitas telekomunikasi untuk warga desa ini. Ternyata hampir seluruh warga di desa Cipanganten tidak pernah mengakses internet sama sekali. Wajar saja, untuk mendapatkan sinyal agar dapat mengirim sms saja mereka harus turun ke jalan raya dengan waktu tempuh sekitar 15 menit naik motor. Layanan sms atau telepon pun mereka gunakan hanya saat ingin mengabari saudara yang berada di luar kota saja.

Selain orang tua, saya pun berusaha bercengkerama dengan anak-anak di desa ini. Anak-anak di desa ini sangatlah ramah dan peduli satu sama lain. Berbeda sekali dengan anak-anak di perkotaan yang terkadang sudah membeda-bedakan orang berdasarkan latar belakangnya. Namun, anak-anak di desa ini memang sedikit kurang banyak pengetahuannya. Mereka tidak pernah bermain game, karena rata-rata mereka tidak memiliki smartphone ataupun komputer. Keseharian mereka hanyalah sekolah, membantu pekerjaan orang tua, dan kadang jalan-jalan ke kota saat akhir pekan.

Ada hal yang sempat menarik perhatian saya, yakni beberapa anak di desa ini memakai kaus dengan desain yang mengandung unsur tren di internet saat ini. Saya tanya terlebih dahulu apakah mereka tahu tentang gambar atau tulisan yang ada di kausnya. Ternyata, mereka tidak tahu sama sekali. Mereka tertarik membeli kaus tersebut karena pengaruh dari penjual yang mengatakan bahwa desainnya sedang ngetren di kota. Saya pun tersenyum mendengarnya. Namun, pada saat saya mengeluarkan smartphone saya dan memamerkan kecanggihannya, mereka langsung menunjukkan wajah tertarik terhadap teknologinya. Saya pun tersenyum dan mengucap dalam hati bahwa anak-anak ini hanya kurang main ke dunia luar.

Kondisi di desa yang minim teknologi dan di kota yang teknologinya sudah canggih memiliki plus dan minus masing-masing. Di kota, untuk berkomunikasi, melakukan pekerjaan, dan mencari ilmu sudah sangat dipermudah dengan teknologi digital yang tersedia. Tetapi, banyak orang yang terkena pengaruh buruk dari budaya masyarakat digital yang toxic. Sebaliknya di pedesaan, untuk berkomunikasi, bekerja, dan mencari ilmu masih tradisional sehingga kurang efisien dan efektif. Namun, suasana yang dirasakan sangatlah aman, tenteran, dan damai karena keasrian lingkungannya, keramahan warganya, dan keindahan alamnya. Hal ini membuat saya bingung dan bertanya di dalam hati "perlukah digitalisasi masuk ke desa ini?".

Setelah berdiskusi dengan para warga serta teman-teman saya, saya pun merenungkan jawaban dari pertanyaan saya sendiri. Akhirnya, saya memantapkan jawaban bahwa digitalisasi perlu diterapkan secara merata hingga ke pelosok desa. Mengapa demikian? Karena digitalisasi dapat memberikan dampak positif yang sangat banyak jika dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Meskipun digitalisasi juga berpotensi besar memberikan dampak negatif, hal tersebut dapat dicegah dengan mengedepankan etika dan moral. Jadi, keuntungan dari digitalisasi dapat kita nikmati tanpa khawatir ancaman kehancuran karakter generasi muda.

Saya sangat berharap kepada para pionir pemerataan digitalisasi nusantara seperti Telkom Indonesia untuk dapat memeratakan layanan telekomunikasi ke seluruh pelosok negeri. Sembari menyediakan layanannya, tidak lupa untuk melakukan sosialisasi tentang cara bijak menggunakan internet dan teknologi lainnya. Jika sudah, maka inovasi-inovasi teknologi terbaru dapat diterapkan juga ke masyarakat. Karena perusahaan-perusahaan tentunya butuh pasar yang luas jika ingin memasarkan inovasi teknologinya ke masyarakat di mana masyarakatnya sendiri harus sudah melek teknologi dan sadar akan prospek keuntungan yang dibawakan oleh teknologi.

Bagikan artikel ini:
Kirim Komentar

Komentar baru terbit setelah disetujui Admin

CAPTCHA Image